Salah
satu rancangan undang-undang yang masuk dalam Prolegnas 2010 dan kini
sedang intensif dibahas adalah RUU Pengelolaan Zakat, yang merupakan
amendemen terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999. RUU Zakat ini
menjadi penting mengingat potensi dananya yang besar dan perannya yang
strategis dalam pengentasan masyarakat miskin dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang
demokratis, RUU Zakat akan mengukuhkan peran negara dalam memberi
perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat (muzakki),
menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat,
memfasilitasi sektor amal untuk perubahan sosial, dan memberi insentif
bagi perkembangan sektor amal.
Dalam
pembahasan RUU Zakat ini terdapat beberapa isu utama yang penting untuk
didorong masuk ke pembahasan dan debat publik, yaitu desentralisasi
pengelolaan zakat dengan regulator yang kuat dan kredibel, konsolidasi
Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) menuju dunia zakat nasional yang
efisien, dan kemitraan pemerintah-OPZ untuk akselerasi pengentasan
kemiskinan.
Otoritas zakat
Di bawah rezim UU No. 38/1999, dunia zakat nasional berjalan tanpa tata
kelola yang memadai. Ribuan OPZ, baik bentukan pemerintah (Badan Amil
Zakat/BAZ) maupun masyarakat (Lembaga Amil Zakat/LAZ), muncul tanpa
mendapat regulasi dan pengawasan yang memadai. Hal ini secara jelas
rawan memunculkan penyimpangan dana zakat masyarakat oleh pengelola yang
tidak amanah. Kebangkitan dunia zakat nasional di tangan masyarakat
sipil era 1990-an, yang telah mentransformasikan zakat dari ranah
amal-sosial- individual ke ranah ekonomi-pembangunan -keumatan, terancam
tergerus oleh “penumpang-penumpang gelap” di dunia zakat. Perkembangan
dunia zakat nasional juga berjalan lambat karena tidak ada upaya
koordinasi dan sinergi antar-OPZ yang berjalan dengan agenda
masing-masing. Hasilnya, kinerja dunia zakat nasional, khususnya dalam
pengentasan masyarakat dari kemiskinan, terasa jauh dari optimal.
Maka, agenda terbesar dunia zakat nasional saat ini adalah mendorong
tata kelola yang baik dengan mendirikan otoritas zakat yang kuat dan
kredibel, katakan Badan Zakat Indonesia (BZI), yang akan memiliki
kewenangan regulasi dan pengawasan di tiga aspek utama, yaitu kepatuhan
syariah, transparansi dan akuntabilitas keuangan, serta efektivitas
ekonomi dari pendayagunaan dana zakat. BZI dibentuk di tingkat pusat dan
dapat membuka perwakilan di tingkat provinsi jika dibutuhkan.
Wacana yang digulirkan pemerintah dan sebagian ormas untuk melakukan
sentralisasi pengelolaan zakat oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki
kinerja zakat nasional adalah tidak valid, ahistoris, dan mengingkari
peran masyarakat sipil dalam Indonesia kontemporer yang demokratis.
Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak
ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh
sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat justru meningkat
setelah dikelola oleh masyarakat sipil. Kegiatan operasional organisasi
nirlaba yang transparan dan akuntabel lebih disukai dan menumbuhkan
kepercayaan muzakki. Kepercayaan (trust) menjadi kata kunci di sini.
Kepercayaan masyarakat inilah yang dibangun melalui tata kelola yang
baik, yaitu operator zakat (OPZ) mendapat regulasi dan pengawasan yang
memadai dari otoritas zakat (BZI).
Konsolidasi
Di bawah rezim UU No. 38/1999, jumlah OPZ melonjak sangat pesat. Hal ini
secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional dalam
kaitan dengan penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Hingga
kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ nasional, 33 BAZ provinsi,
dan 429 BAZ kabupaten/kota, belum termasuk 4.771 BAZ kecamatan, ribuan
LAZ provinsi-kabupaten- kota dan puluhan ribu amil tradisional berbasis
masjid serta pesantren. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak
efisien, karena mayoritas OPZ beroperasi pada skala usaha yang terlalu
kecil. Dampak zakat pun menjadi minimal.
Langkah reformasi paling mendasar di sini adalah dengan memperketat
pendirian OPZ baru dan melarang pihak yang tidak berhak untuk menghimpun
dan mengelola zakat. Langkah berikutnya adalah mendorong upaya
konsolidasi OPZ menuju dunia zakat nasional yang efisien dan efektif. UU
Zakat harus mendorong upaya reward and punishment bagi OPZ dalam upaya
konsolidasi dunia zakat nasional ini, yaitu dalam bentuk peningkatan
kapasitas OPZ, merger dan akuisisi antar-OPZ, serta penurunan status OPZ
dengan kinerja rendah menjadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat).
Untuk mendorong konsolidasi, UU Zakat harus memberi batasan minimal
penghimpunan dana, katakan Rp 5 miliar per tahun, agar sebuah OPZ dapat
terus beroperasi. Jika batas ini tak dapat dipenuhi, OPZ harus merger
dengan OPZ lain, bergabung dengan OPZ jangkar, atau diturunkan statusnya
menjadi UPZ. UPZ berbasis masjid, pesantren, perusahaan dan institusi
harus berafiliasi dan berinduk kepada OPZ dan dapat melakukan
pendayagunaan dana maksimal 50 persen untuk prioritas lokal, termasuk
bagian amil. UPZ dengan penghimpunan dana di bawah Rp 100 juta per tahun
tidak berhak melakukan pendayagunaan dana, kecuali bagian amil.
Di sisi lain, OPZ besar didorong beroperasi lintas negara menjadi OPZ
berskala internasional, katakan dengan penghimpunan dana di atas Rp 500
miliar per tahun. Sedangkan OPZ dengan penghimpunan dana antara Rp
100-500 miliar, didorong menjadi OPZ nasional, yang melakukan
penghimpunan dan pendayagunaan secara umum di seluruh Nusantara.
Sedangkan OPZ dengan penghimpunan dana di bawah Rp 100 miliar per tahun
diarahkan menjadi OPZ fokus wilayah atau fokus program pendayagunaan
(seperti kesehatan, pendidikan, pemberdayaan UKM, anak jalanan, petani
dan nelayan gurem, buruh migran/TKI, desa tertinggal, dan lain-lain).
Dengan konsolidasi dan sistem kelembagaan jejaring, pengelolaan zakat
secara formal kelembagaan akan optimal. Semua potensi zakat dapat
dihimpun, dan didayagunakan secara professional dan amanah untuk
kesejahteraan umat. Di sisi lain, format kelembagaan khusus bagi UPZ
akan memberdayakan potensi amil tradisional dengan tetap memberi peluang
bagi penggunaan untuk kepentingan lokal.
Kemitraan
Berbagai wacana muncul dalam RUU Zakat untuk mendorong kinerja dunia
zakat nasional, antara lain zakat sebagai pengurang pajak penghasilan
(tax credit) dan sanksi bagi muzakki yang lalai. Zakat sebagai tax
credit diyakini akan menjadi insentif yang memadai bagi muzakki dalam
menunaikan kewajibannya. Namun wacana ini, jika terealisasi, akan
memberi dampak signifikan bagi penerimaan pajak, berpotensi
disalahgunakan, dan bermasalah secara yuridis karena ketentuan soal
pajak semestinya diatur dalam UU Perpajakan. Karena itu, diperkirakan
wacana ini sulit diterima dan diimplementasikan oleh otoritas pajak.
Sedangkan wacana sanksi bagi muzakki cenderung tidak produktif karena
secara politis akan mendapat banyak stigma negatif dan secara ekonomi
diyakini tidak akan efektif pelaksanaannya.
Wacana yang lebih menarik dan progresif untuk meningkatkan kinerja dunia
zakat nasional adalah mendorong kemitraan pemerintah dan OPZ untuk
akselerasi pengentasan masyarakat dari kemiskinan. UU Zakat harus
mengamanatkan bahwa pemerintah akan secara aktif mengikutsertakan OPZ
dalam program penanggulangan kemiskinan. Kemitraan pemerintah-OPZ dalam
program penanggulangan kemiskinan dapat berupa pemberian hibah
(block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant) ,
dengan pemerintah menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility
criteria) bagi OPZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan,
seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana, dan
kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah.
Terdapat beberapa keuntungan bagi pemerintah bila melakukan pola
pendayagunaan dana pengentasan masyarakat miskin melalui kemitraan
dengan OPZ seperti ini. Pertama, meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas program pengentasan masyarakat miskin. Kedua, menurunkan
tingkat penyalahgunaan dana pengentasan masyarakat miskin dan
meningkatkan efektivitasnya. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di
dalam birokrasi pengelolaan dana pengentasan masyarakat miskin.